Jauh sebelum
Wirasaba dan Onje berdiri, apalagi Purbalingga, di Cahyana, Kecamatan
Karangmoncol telah berdiri pusat pemerintahan yang solid dan disegani.
Diperkirakan mulai dirintis sekitar tahun 1450, atau 559 tahun yang lalu.
Purbalingga berusia 179 tahun maka selisihnya 380 tahun.
Adalah
seorang Putra Kerajaan Pajajaran yang bernama Raden Liman Sujana. Walau turunan
raja, dengan tegas ia menolak untuk duduk di Kabinet Pajajaran Bersatu. Ia
memperkirakan dengan pasti bahwa Pajajaran akan segera runtuh. Pajajaran saat
itu mengalami masa transisi karena masuknya Agama Islam. Ia mengembara ke
daerah Banten dan bertapa di bukit batu karang di bawah pohon jambu. Di saat
bertapa ternyata ada ajakan gaib, berupa cahaya, yang seperti menuntun jiwa dan
raganya. Raden Liman Sujana kemudian berjalan menyusuri pantai utara Pulau
Jawa. Kira-kira sampai di daerah Tegal, ia membelok ke selatan. Cahaya gaib
menuntunnya terus untuk menuju ke selatan dan sampai ke sebuah bukit yang
bernama Gunung Munggul. Dan di Gunung Munggul ini, ia melihat orang yang sedang
naik (menek) pohon kelapa sambil menggendong seorang anak. Indra kewaskitaannya
terusik untuk mengenal sang pemanjat pohon. Maka terungkaplah bahwa sang
pemanjat pohon itu bernama Ki Kelun, rumahnya di desa Wanakasimpar, anak
perempuan yang digendongnya bernama Rubiah. Ki Kelun sayang sekali kepada
Rubiah sehingga Rubiah digendongnya kemana-mana.
Cahaya gaib
yang menuntun R. Liman Sujana menghilang. Menyadari hal tersebut beliau
menetapkan diri untuk tinggal di desa Wanakasimpar yang saat itu masih berupa
hutan. Ia bertekad untuk membaktikan dirinya bagi lingkungan Gunung Munggul.
Anak Ki Kelun si Rubiah diambil sebagai anak angkat, namanya diperpanjang
menjadi Rubiah Bhakti. Wanakasimpar pun berubah menjadi Cahyana, barangkali
dari kata “ana cahya, cahya ana”.
Keberadaan
R. Liman Sujana membuat Cahyana menjadi sebuah desa yang maju dan menarik orang
untuk ikut mukim di sana. Cahyana berkembang layaknya sebuah kadipaten dengan
R. Liman Sujana sebagai pusatnya. Banyak juga pendatang dari luar daerah. Salah
seorang di antara mereka adalah keturunan Arab, bernama Rakhmat. Dia berterus
terang bahwa salah satu maksudnya datang ke Cahyana adalah untuk menyebarkan
Agama Islam. Ia berniat agar Islam merata di Tanah Jawa.
Maksud
tersebut menjadikan R. Liman Sujana tidak suka, namun ia adalah tokoh yang bisa
menahan diri. Maka dengan caranya R. Liman Sujana pun minta secara baik-baik
untuk mencoba dan mengadu kesaktiannya dengan Rakhmat. Hasil akhirnya, ia harus
mengakui bahwa Rakhmat lebih sakti dibanding dirinya. Dengan penjelasan Rakhmat
tentang Islam, R. Liman Sujana bersedia menjadi muslim, ia merasuk Agama Islam.
Sang anak angkat, Rubiah Bhakti, yang telah dewasa pun dinikahkan dengan
Rakhmat. Keberadaan dua tokoh ini menjadikan nama Cahyana semakin melambung
sebagai wiyata mandala, tempat belajar Agama Islam, pesantren.
Rakhmat
kemudian meninggalkan Cahyana dan menetap di sebuah tempat yang diberi nama
Rajawana --Wanakasimpar bergeser menjadi Rajawana, masih ada “wana”-nya--.
Namun saat itu secara regional nama Cahyana lebih menonjol daripada Rajawana.
Agama Islam pun berkembang pesat di daerah tersebut. Kedua tokoh pendatang ini
terkenal dengan sebutan syekh, artinya orang yang ahli dalam hal pengetahuan
Agama Islam. Tata pemerintahan pun dijalankan sesuai dengan ajaran Islam. Tidak
ada istilah adipati, patih, tumenggung, dan sebangsanya! Nama Liman Sujana
disesuaikan menjadi Imam Sujana, berdasarkan riwayat saat awal bertapa, ia
memilih gelar sebagai Syeh Jambu Karang. Sang menantu angkat, tetap sesuai
dengan gelar awalnya yaitu Syekh Wali Rakhmat.
Pernikahan
Syekh Wali Rakhmat dengan Rubiah Bhakti, menurunkan tiga putera dan dua orang
puteri.
- Pangeran Makhdum
Kusen, makamnya di Rajawana
- Pangeran Makhdum
Madem, makamnya di Cirebon
- Pangeran Makhdun
Umar, makamnya di Pulau Karimunjawa
- Nyai Rubiah
Razak, makamnya di Ragasela, Pekalongan
- Nyai Rubiah
Sekar, makamnya di Jambangan, Banjarnegara.
Syeh Wali
Rakhmat sampai ke wilayah Purbalingga sekitar lima puluh tahun sebelum Demak
berdiri. Bersama Syeh Jambu Karang membangun Cahyana. Rajawana berkembang
menjadi pusat pendidikan Agama Islam. Namun demikian nama Cahyana lebih
kesohor daripada Rajawana. Ketika Syeh Wali Rakhmat merasa telah cukup dalam
menyampaikan pengetahuan Agama Islam, ia memberi kesempatan kepada putra dan
putrinya untuk meneruskannya. Syeh Wali Rakhmat yang saat itu sudah berusia
senja, mohon diri dan kembali ke negara asalnya, Arab. Pangeran Makhdun Kusen,
puyta sulungnya, kemudian dipercaya memimpin pesantren Rajawana, di Cahyana
ini.
Cahyana yang
berada di kaki pegunungan, antara Gunung Dieng dengan Gunung Slamet (disebut
juga Gunung Gora) adalah wilayah yang jauh dari ibukota kerajaan. Baik kerajaan
di wilayah barat, Kerajaan Sunda, maupun yang berada di sebelah timur, kerajaan
Majapahit. Kedua kerajaan menganggap wilayah di lembah Sungai Serayu dan Sungai
Klawing ini adalah milik mereka. Garis batas yang tidak jelas menjadikan
Cahyana dianggap sebagai bagian dari Kerajaan Sunda dan juga Kerajaan Majapahit.
Namun para wali penyebar Agama Islam berada di wilayah Majapahit sehingga
menjadikan Cahyana lebih condong ke Majapahit. Kemasyhuran Cahyana sampai ke
Kerajaan Sunda, Prabu Niskalawastukancana, seorang raja yang bertahta sampai
104 tahun (1371 – 1475) mengutus prajuritnya pergi ke Cahyana. Mengharap agar
Pangeran Makhdun Kusen bersedia menghadap ke Kerajaan Sunda. Menurutnya Cahyana
adalah milik Kerajaan Sunda. Pangeran Makhdun Kusen menolak, tidak bersedia ke
Sunda, ia berpendirian bahwa bumi ini adalah milik Allah SWT, bukan milik Raja
Sunda yang dianggapnya masih kafir. Cahyana justru akan bergabung dengan para
wali yang berada di Majapahit.
Gejala
separatisme ini menjadikan Prabu Niskalawastukancana marah. Dikirimkannya satu
pasukan besar prajurit pilihan untuk menggempur Cahyana, tepatnya mengempur
Rajawana. Berita kedatangan prajurit Sunda ketahuan oleh Pangeran Makhdum Kusen
sebelum sampai ke Rajawana, Karena sebuah pesantren maka Rajawana tidak punya
prajurit, yang ada adalah para santri dan sahabat-sahabatnya. Setelah shalat
ashar, para santri dikumpulkan. Santri putra disuruh mengawasi rumah-rumah
penduduk agar jangan sampai dirusak. Santri Putri ditugaskan untuk bersiap
menyambut prajurit Sunda dengan cara menabuh rebana di belakang pintu gerbang.
Rebana bukan sembarang rebana, tapi rebana yang telah dibuat menjadi “luar
biasa” berkat doa Pangeran Makhdun Kusen.
Pada saat
menjelang magrib, di saat Pasukan Prajurit Sunda mempersiapkan tempat untuk
bermalam di pinggir sebuah sungai, Pangeran Makhdun Kusen memerintahkan satri
putrinya untuk membunyikan rebana. Pangeran Makhdun Kusen sendiri masuk kedalam
kamar dan shalat hajat, mohon perlindungan Allah dari serangan prajurit Sunda.
Inilah salah
satu “kesaktian” Pangeran Makhdun Kusen, begitu rebana ditabuh, maka bersamaan
dengan bunyi rebana, terdengar pula bunyi dengung yang lain. Ternyata itu
adalah bunyi ribuan tawon gung yang seakan keluar dari kamar Pangeran
Makhdun Kusen. Ribuan tawon terbang dan menyerang para prajurit Sunda.
Terjadilah pertempuran anatara tawon gung dengan prajurit Sunda. Tengah malam
para prajurit baru mampu mengalahkan serangan tawon.
Mereka sadar
tawon gung ini adalah bagian dari kesaktian Pangeran Makhdun Kusen.
Kesadaran itulah yang menjadikan mereka lebih hati-hati saat menyerang Rajawana
pada pagi harinya. Serangan pagi harinya membuat para sahabat Pangeran Makhdun
Kusen dan santri Rajawana kewalahan. Pangeran Makhdun Kusen pun berdoa
kembali, mohon pertolongan Allah. Ajaib, tidak lama kemudian tiba-tiba ada jin
besar yang segera mengamuk, memporak-porandakan prajurit Sunda. Pimpinan
prajurit Sunda pun memerintahkan seluruh prajuritnya untuk mundur dan kembali
ke Sunda.
Kemenangan
tersebut membuat beberapa santri putri mengalami eforia, mereka menabuh rebana
dan bernyanyi-nyanyi. Maka sejak saat itu santri putri memiliki kegiatan baru
yaitu menabuh rebana dengan diiringi nyanyian yang bernafaskan Islam.
Belakangan kesenian ini disebut dengan nama “Braen”. Kini menjadi kesenian khas
Pekiringan.
Kedamaian di
Rajawana membuat kehidupan Pangeran Makhdun Kusen semakin bahagia. Para wali di
pusat kerajaan Majapahit pun meneruh perhatian lebih terhadap wilayah Cahyana.
Pangeran Makhdun Kusen memiliki seorang putra, yaitu Pangeran Makhdun Jamil.
Ceritera
tentang empat orang wali yaitu Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus dan
Sunan Gunungjati yang sempat mengadakan kunjungan kerja ke Wilayah Purbalingga,
di saat reses, tidak ada sidang.
Tercatat
bahwa pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di seluruh
Nusantara surut. Menjelang berdirinya Kerajaan Demak pengaruh para wali dan
penyebar Agama Islam justru semakin berperan. Agama Islam merata di Pulau Jawa.
Setelah Cahyana di Gunung Munggul, maka terceriterakan pula bahwa, sedikitnya,
ada satu tempat lagi yang dijadikan sebagai basis perkembangan Islam pada masa
itu, yaitu di Onje. Di Onje telah berdiri semacam pesantren dengan tokoh
legendaris penyebar Agama Islam bernama Syeh Syamsudin.
Konon Syeh
Syamsudin, dalam pengembaraannya menuju Cahyana ia sempat menemukan tempat yang
menurutnya sangat ideal untuk mesu diri, olah jiwa berpasrah diri kepada Yang
Maha Kuasa. Ia menemukan bahwa di barat sungai besar ada tempat pertemuan
tiga buah sungai. Tiga sungai yang sangat jernih bergabung menjadi satu, dan
tidak jauh kemudian gabungan sungai itu pun bermuara di Bengawan Klawing.
Begitu
terpesona dengan suasana di tempat tersebut, Syeh Syamsudin pun beristirahat
dan melaksanakan sholat di pinggir sungai. Kemudian beliau berkehendak untuk
mendirikan sebuah masjid. Arah hadap sholat, kiblat, pun diumumkan, “Jika kita
di sini cukup menghadap Gunung Gora (Gunung Slamet, Gora = Agung) maka itulah
arah hadap sholat kita” artinya bahwa Gunung Gora kebetulan searah dengan arah
terbenamnya matahari, searah pula dengan arah Baitullah. Pada jaman dahulu,
sungai, gunung, pegunungan, dan benda di langit merupakan petunjuk geografi
yang paling utama.
Maka dengan
tiang, empat batang pohon pakis dan atap ijuk, berdirilah sebuah masjid di
dekat pertemuan tiga sungai. Sebagai tempat pengimaman, dibuat dari sebuah batu
yang datar. Sejak saat itu berdirilah semacam pesantren di Onje.
Keberadaan
Cahyana di samping diketahui oleh pihak kerajaan, tentu saja diketahui oleh
para wali di Majapahit. Kegagalan serangan pasukan Raja Sunda terhadap Pangeran
Makhdun Kusen menjadikan Cahyana makin dikenal oleh para wali. Sama halnya
dengan Cahyana, keberadaan Masjid Onje juga diketahui para wali.
Maka
dikisahkan bahwa empat orang wali, yaitu Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus,
dan Sunan Gunung Jati, suatu waktu sempat berkunjung ke Cahyana. Kehadiran
mereka adalah untuk menghormati Syeh Jambukarang yang sudah kembali ke rakhmat
Allah. Syeh Jambukarang sudah dimakamkan di salah satu Puncak Gunung Munggul.
Kini di sebut Ardi Lawet.
Para wali
berpesan agar pemakaman para leluhur hendaknya dihormati dan dirawat dengan
baik. Dijanjikan juga bahwa berdasarkan kemajuan Cahyana maka pada saatnya
tentu wilayah ini akan mendapat perhatian khusus dari pihak istana.
Setelah dari
Cahyana para wali, berempat, ternyata berkenan untuk berkunjung ke Onje.
Alkisah, ketika di Onje, karena melihat bangunan masjid yang sangat sederhana,
keempat wali itu sepakat, memperbaiki masjid. Maka, di antaranya, dengan
dibantu oleh cucu Pangeran Makhdun Kusen dari Cahyana, yakni putra dari
Pangeran Makdun Jamil, tiang penyangga Masjid Onje yang tadinya menggunakan
batang pakis diganti dengan menggunakan kayu jati. Dan tiang kayu jati inilah
yang diyakini hingga kini masih asli. Sampai sekarang masih utuh.
Alhamdulillah,
ternyata hasil karya para wali, termasuk Sunan Kalijaga pun sempat ada di
wilayah Purbalingga!
Setelah
memperbaiki Masjid Onje, empat wali tersebut terinspirasi untuk memperbaiki
sebuah masjid yang berusia sekitar sepuluh tahun, di Demak. Masjid yang
didirikan oleh Sunan Ampel, bentuknya hanya berupa bangunan pondok pesantren,
dikenal dengan nama Pondok Pesantren Glagahwangi.
Sunan
Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Jati, segera pergi ke
Demak, dan dibantu oleh para wali yang lain, mulai merenovasi masjid pesantren
Glagahwangi. Lama memperbaiki masjid Glagahwangi itu dua tahun. Sesuai dengan candrasengkala
(candra = bulan, sengkala = hitungan waktu; artinya waktu yang dihitung
berdasarkan peredaran bulan) yang ada pada masjid yaitu: “Lawang Trus
Gunanning Janma”, yang berarti tahun Saka 1399 atau tahun Masehi 1477, tahun
itulah pertama kali masjid direnovasi, dan kelak kemudian, dikenal dengan nama
Masjid Agung Demak.
Menyimak
ceritera di atas maka sewajarnyalah kita berpendapat bahwa masjid di Desa Onje
itu usianya lebih tua dari Masjid Agung Demak. Dan sudah sewajarnya masjid itu
termasuk benda cagar budaya, kekayaan Purbalingga, yang wajib kita lindungi
keberadaannya.
Jika ke
Onje, di gerbang yang melengkung, di depan mesjid, tertulis Masjid R. Sayyid
Kuning. Lho kok, Masjid R. Sayyid Kuning, bukan Masjid Agung Onje? Kenapa?
Sekedar info
bahwa di Desa Onje, Kecamatan Mrebet, Kabupaten Purbalingga, ternyata dikenal sebagai
pusat pelestarian ajaran Tarikat Islam Aboge. Menurut ceritera Ajaran Islam
Aboge kali pertama diperkenalkan oleh Raden Ngabdullah Syarif Sayyid Kuning.
Itulah ceritera mengapa ada tulisan R. Sayyid Kuning.
Pangeran
Wali Prakosa adalah canggah Syeh Jambukarang yang dimakamkan di Ardi
Lawet, Gunung Munggul! Buyutnya Syeh Wali Rahmat (Syeh Atas Angin).
Beliau adalah cucu Pangeran Makhdun Kusen. Putra Pangeran Makhdun Jamil di Bumi
Cahyana, Karangmoncol, Purbalingga. Pangeran Wali Prakosa, lebih kesohor dari
pada kakaknya yang bernama Pangeran Makhdum Tores.
Terceriterakan
pada suatu hari Pangeran Makhdum Tores minta kepada adiknya agar segera pergi
ke Kerajaan Demak, harus melapor karena takut, ada kemungkinan wilayah Cahyana
akan diambil alih oleh Kerajaan Sunda. Pangeran Makhdum Prakosa pun segera ke
Demak menghadap Sultan Trenggana.
Sesampainya
di kasultanan ia diterima oleh seorang penghulu khalipah yang bernama, Kusen.
Dalam catatan babad, Pangeran Wali Prakosa saat itu disebut sebagai “kaum
pengalasan kilen”, maksudnya santri dari daerah hutan wilayah barat.
Setelah
bertemu dengan Sultan ia pun ditanya asal-usulnya, Pangeran Wali Prakosa
menjawab bahwa ia berasal dari Jiyana. Sang Sultan tidak mengenal Jiyana tapi
kalau yang dimaksud Cahyana, Sultan mengenalnya. Para wali setelah berkunjung
ke Cahyana dan Onje menceriterakannya ke Sultan. Pangeran Wali Prakosa
membenarkan dia berasal dari Cahyana yang dimaksud dan yang membantu para wali
saat mengganti tiang dan memperbaiki Masjid Onje.
Sultan
sangat berkenan dengan kemampuan Pangeran Wali Prakosa maka ia diminta untuk
ikut membantu pembangunan Masjid Demak, saat itu kebetulan masjid kekurangan
satu tiang utama, saka guru. Pangeran Wali Prakosa disarankan untuk
menemui Sunan Kalijaga agar dapat melangkapi kekurangan saka guru
tersebut.
Alkisah,
sesungguhnya saat itu Sunan Kalijaga sedang bersemedi di Giri Malaka. Namun
karena kewaskitaannya ia mampu menangkap kehendak Sultan Trenggana dan Pangeran
Wali Prakosa yang ingin menemuinya. Sunan Kalijaga segera bangun dan melakukan
perjalanan sehari semalam untuk sampai di Demak. Kemudian bertemu disekitar
istana dengan Pangeran Wali Prakosa yang saat itu masih dipanggil Pangeran
Makhdum.
“Lho, apa
yang ditugaskan oleh Kanjeng Sultan?” tanya Sunan Kalijaga
“Saya diberi
tanggung jawab satu tiang utama untuk Masjid Demak, dan menemui Kanjeng Sunan
Kalijaga!” jawab Pangeran Wali Prakosa. Keduanya sepakat tidak usah mencari
kayu jati ke hutan. Tapi akan membuat tiang dari bahan yang tersisa saja.
“Baiklah,
saya yang akan membantu mengatur dan menghaluskan pekerjaan membuat satu tiang
tersebut!” kata Sunan Kalijaga.
Maka
bekerjalah dua orang tersebut. Mengumpulkan tatal, potongan-potongan kayu jati
yang tidak terpakai, lalu disusun menjadi balok panjang, dihaluskan dan jadilah
salah satu tiang Masjid Demak yang paling unik, yang disebut saka tatal.
Pada
akhirnya Masjid Demak pun dianggap sudah siap diresmikan penggunaannya. Namun
di saat fajar, menjelang shalat shubuh, Sunan Bonang terkesiap, ketika memperhatikan
bayangan masjid di bawah langit pada pagi buta saat itu. Tampak jelas bahwa
bangunan masjid ternyata miring, dhoyong, atau tidak tegak benar. Para wali
kebingungan. Tidak mungkin dibongkar ulang, sehingga merasa bahwa pekerjaan
menegakkan bangunan agar tegak, bukan pekerjaan yang mudah. Ketika
masing-masing wali berteori cara menegakkan bangunan, Pangeran Wali Prakosa
dengan sopan mengusulkan, agar menggunakan cara yang paling efisien.
“Apa
saranmu, anak Cahyana?” pertanyaan Sunan Bonang. Para wali dan Sultan Trenggana
menatap Pangeran Wali Prakosa dengan penuh harap.
“Jika
berkenan biarlah hamba jadi palu, sedang Kanjeng Sultan dan para Wali menjadi
gandennya. Insya Allah masjid dapat menjadi tegak!” kata Pangeran Wali Prakosa.
Sunan
Bonang, para Wali dan Sultan Trenggono terdiam. Suasana demikian hening.
Masing-masing berpikir yang dimaksud dengan palu dan ganden. Palu
adalah alat pemukul yang dibuat dari besi, sedang ganden terbuat dari kayu.
“Apa yang
kau maksudkan, Makhdum?” tanya Sultan Trenggana.
“Bila Paduka
berkenan, para wali yang berdoa, nanti hamba yang mengamini. Semoga Allah
mengabulkan” jawab Pangeran Wali Prakosa sopan.
“Baiklah
mari kita lakukan” jawaban Sultan dan kemudian mengajak semua yang ada hadir
untuk terlibat. Para wali menenmpatkan diri di depan, dan mengucapkan doa
dipimpin Sunan Bonang. Pangeran Wali Prakosa di belakang mengamini. Namun
setelah beberapa lama ditunggu ternyata kondisi masjid masih tetap dhoyong.
“Bagaimana,
Makhdun?” pertanyaan Sultan seakan minta penjelasan dengan tegas.
“Ampun
Sinuhun, kalau Kanjeng Sultan berkenan, ijinkan hamba yang berdoa, sedang para
wali dan yang hadir yang mengamini. Insya Allah masjid dapat tegak!”
Sultan
Trenggana dengan kebesaran hatinya, percaya akan kemampuan “kaum pengalasan
kilen” ini, sehingga Sultan pun segera memberi restu.
Konon
Pangeran Wali Prakosa meminta para wali, di saat mengamini doanya sambil
memegang saka guru buatan masing-masing. Luar biasa! Tanpa terasa prosesnya,
namun terbukti faktanya. Masjid ternyata telah berdiri tegak sesuai yang
dikehendaki. Semua mengucapkan alhamdulillah, puji syukur kepada Allah Yang
Maha Perkasa.
“Keperkasaan
kami berkat doamu, Makhdun. Maka kau kuberi gelar Wali Prakosa. Dan kau
kutugaskan untuk melanjutkan, meng-Islam-kan para kawula di lereng BUkit
Cahyana!” kata-kata Sultan, memberi gelar dan tugas kepada Pangeran Wali
Prakosa. Dan sejak saat itulah nama Pangeran Makhdun Wali Prakosa menjadi gelar
putra Cahyana ini.
Sultan
merasa sangat senang dengan kemajuan wilayah Cahyana dan kemampuan Pangeran
Wali Prakosa sehingga Sultan secara resmi memerdekakan Cahyana dari memberikan
pajak terhadap negara. Seluruh pendapatan Cahyana diijinkan untuk kepentingan
penyebaran Agama Islam dan merawat makam leluhur. Cahyana adalah bagian dari Kerajaan
Demak, dan menjadi tanah perdikan. Bunyi piagam yang terdokumentasi kurang
lebih berbunyi seperti ini:
“Penget
layang kang idi Pangeran Sultan ing Demak. Kagaduha dening Mahdum Wali Prakosa
ing Cahyana. Mulane anggaduha layang ingsung dene angrowangi amelar tanah. Sun
tulusaken Pamardikane pesti lemah Perdikane Allah tantaha ana angowahana ora
sun wehi suka halal dunya aherat. Anaa anak putu aba aniaya. Mugaa kena
gutuking Allah lan olia bebenduning para wali kang ana ing Nusa Jawa. Estu
yen peperdikane Allah”
Menyimak
kalimatnya berarti Sultan Trenggana menilai bahwa Cahyana telah membantu
meluaskan wilayah Demak. Dan barang siapa yang mengubah surat keputusan
tersebut, ora sun wehi (baca: dikutuk) kebahagiaan yang khalal di dunia
dan akherat, juga akan dikutuk Allah, dan oleh para wali yang ada di Pulau
Jawa. Peringatan keras Sultan Trenggana terhadap pelanggaran surat keputusan
tadi.
Kesimpulannya
sederhana. Menurut Babad Cahyana ini ternyata yang membuat tiang tatal bukanlah
Sunan Kalijaga, tapi Pangeran Wali Prakosa, “insinyur bangunan” dari Cahyana,
Purbalingga. Sunan Kalijaga hanya mengatur dan membantu. Sultan Trenggana, dan
lingkungan istana sebagai pusat pemerintahan, sangat menghargai kemampuan dan
potensi wilayah Cahyana.
Kini berceritera
tentang Pangeran Wali Makhdum Cahyana. Konon Pangeran Wali Makhdum Cahyana ini
adalah keturunan Sunan Ampel di Ampeldenta, Surabaya, Jawa Timur. Sunan Ampel
adalah wali yang sangat dihormati oleh para pejabat kerajaan Demak Bintara dan
dihormati pula oleh para wali.
Raden Patah,
Sultan Kerajaan Demak Bintara, mempunyai istri yang bernama Nyai Ageng Maloka,
ia adalah cucu Sunan Ampel. Istri Sunan Kalijaga pun adalah cucu Sunan
Ampel. Putri Sunan Ampel yang bernama Siti Murtosiyah diperistri oleh Sunan
Giri. Dengan demikian wajar betapa bermartabatnya Sunan Ampel di hadapan para
wali dan pejabat kerajaan pada saat itu.
Dikisahkan
dua orang cucu dari Sunan Ampel, yang laki-laki, sebut saja Pangeran Nurcahya
dan yang perempuan Putri Aini. Keduanya dari Ampeldenta, berniat menunaikan
ibadah haji ke Mekkah, Tanah Arab. Dalam perjalanannya, kedua cucu Sunan Ampel
ini berniat untuk singgah dahulu di Cirebon. Di samping menambah bekal ilmu
keislamannya juga sekalian ingin berpamitan dengan para kerabat Kasultanan
Cirebon. Maka ketika kapal yang membawanya sampai di Cirebon, Pangeran Nurcahya
dan Putri Aini ini menghadap Sultan Cirebon. Keduanya menetap beberapa hari di
Cirebon. Dalam waktu yang singkat itu, ternyata Sultan Cirebon terpesona oleh
kecantikan Putri Aini. Kharisma Sunan Ampel juga menjadikan Sultan Cirebon
bermaksud memperistri Putri Aini. Dalam waktu dekat, Putri Aini pun menjadi
istri Sultan Cirebon. Kini dengan status sang putri sebagai istri sultan
menjadi kendala niat niat Pangeran Nurcahya dan Putri Aini untuk naik haji.
Demikianlah
barangkali karena perkenalan yang terlalu singkat. Pernikahan Putri Aini dengan
Sultan Cirebon tidak berlangsung lama. Kebahagiaan tak didapat, derita batin
menjadi siksaan raga. Diceriterakan bahwa pada suatu malam karena kejadian yang
tidak menyenangkan, menjadikan Putri Aini keluar dari Kasultanan Cirebon. Malam
itu juga Pangeran Nurcahya dan Putri Aini meloloskan diri. Keduanya keluar
secara diam-diam menembus malam.
Tanpa bekal
yang cukup keduanya masuk keluar hutan. Berjalan ke arah timur dan kemudian
mengikuti kata hati meneruskan perjalanan ke arah selatan. Berhari-hari
perjalanan menembus hutan. Pangeran Nurcahya berjalan di depan, ia membuka dan
membuat jalan. Hutan lebat ditembusnya. Tidak heran jika ia terkena duri di
seluruh badannya. Luka terkena duri, menabrak miang, terantuk batu, dan jatuh
tersungkur menjadi ujian baginya. Luka diseluruh tubuhnya menjadi koreng, kulit
bernanah dan mengelupas di sana-sini.
Takdir
membawa Pangeran Nurcahya dan Putri Aini sampai di Tanah Perdikan Cahyana. Saat
itu sesepuh Perdikan Cahyana adalah Pangeran Makhdun Wali Prakosa.
Dengan rasa prihatin diterimanya Pangeran Nurcahya dan Putri Aini yang saat itu
tampak sebagai orang kabur kanginan, orang yang tidak punya identitas
jelas.
Kemudian
beliau berguru, menjadi santri dari Pangeran Makhdum Wali Prakosa. Orang
Cahyana melihat badan Pangeran Nurcahya yang penuh luka, penuh dengan koreng,
dikatakannnya gudigen. Gudig adalah istilah untuk orang yang kulitnya
menderita gatal. Ketika digaruk umumnya menimbulkan luka. Hal seperti itulah
yang dimaksud gudigen. Setelah diangkat menjadi santri, Pangeran Nurcahya,
mendapat julukan sebagai Santri Gudig. Santri Gudig belajar keislaman di
Masjid Pekiringan.
Masjid
Pekiringan, kini disebut Masjid Jami’ Wali Perkasa. Masjid ini didirikan oleh
Pangeran Makhdun Wali Prakosa, segera setelah pulang dari Demak. Di Demak
Pangeran Makhdun Wali Prakosa ikut membangun masjid Agung Demak, bahkan
dikisahkan beliaulah yang sebenarnya membuat saka tatal. Dengan demikian Masjid
Jami’ Wali Perkasa ini diyakini bahwa usianya hampir sama dengan Masjid Agung
Demak yang dibangun sekitar tahun 1420. Walau sudah sembuh namun Pangeran
Nurcahya tetap dikenal dengan panggilan Santri Gudig. Ia menjadi santri yang
cakap, sopan dan patuh pada guru. Maklum ia adalah cucu Sunan Ampel, maka dalam
olah sastra dan kanuragan menjadi lebih menonjol dibandingkan dengan santri
yang lain. Pangeran Makhdun Wali Prakosa sayang sekali kepadanya. Kain yang
dipakai tidur Pangeran Nurcahyo pada suatu malam bercahaya-cahaya seperti ada
apinya. Hal tersebut diketahui oleh Pangeran Makhdun Wali Prakosa yang kemudian
berkenan untuk menjadikannya sebagai menantunya. Ia dinikahkan dengan putri
beliau yang bernama Pangeran Estri. Santri Gudig pada akhirnya dikenal
dengan nama Pangeran Makhdun Wali Cahyana dan diserahi tugas untuk memimpin
Tanah Perdikan Cahyana. Dalam keseharian Pangeran Wali Makhdum Cahyana dikenal
sebagai orang yang memiliki keahlian luar biasa saat menangkap ikan. Beliau
juga dikenal juga ahli dalam bidang pertanian, sehingga hasil pertaniannya luar
biasa baiknya, keahlian ini diajarkannnya kepada masyarakat Cahyana. Beliau
membuat lumbung padi untuk mengumpulkan padi zakat untuk dibagikan ke yang ber
hak. Keahlian yang secara tidak sengaja disaksikan oleh masyarakat Cahyana
adalah belia mempunyai ilmu rahasia untuk menghilang saat ada musuh. Lalu
ketika membuat lantai rumah beliau pergi ke sungai dengan membawa sepotong
ranting daun waru yang dijadikan cambuk, ia menggiring batu-batu kali yang
berjalan bagai hewan ternak, lalu menyusun diri untuk menjadi lantai rumah.
Luar biasa.
Sumber
: berbagai sumber.