Rabu, 01 Mei 2013

Meredakan Ketegangan dalam Rumah Tangga

Kondisi kehidupan keluarga sangat fluktuatif. Kadang berada dalam suasana yang bahagia, nyaman, tenteram dan tenang. Namun kadang bergolak, ada suasana ketegangan yang membuat suami dan istri tertekan secara psi
kologis sehingga tidak bahagia hidupnya. Ada banyak faktor yang mempengaruhi munculnya aneka suasana dalam kehidupan rumah tangga.
Perubahan suasana tersebut kadang begitu cepatnya. Sebuah keluarga yang semula demikian tampak bahagia dan ceria, tiba-tiba keesokan harinya mengalami ketegangan dan konflik yang memuncak. Sebaliknya, keluarga yang semua sudah berada di ambang kehancuran, tiba-tiba tampak sedemikian mesra dan bahagia pada hari berikutnya. Para konselor di Jogja Family Center sering terkejut atas perubahan yang sedemikian cepat pada klien. Dikira masih berada dalam masalah keluarga, ternyata mereka tengah berlibur di Australia dalam kondisi bahagia.
Ketegangan Keluarga
Setiap keluarga pasti pernah mengalami suasana ketegangan hubungan antara suami dan istri, atau antara orang tua dengan anak. Ada dua jenis ketegangan yang biasa terjadi dalam kehidupan keluarga, yaitu ketegangan psikis dan ketegangan fisik. Yang dimaksud dengan ketegangan psikis adalah suasana tidak nyaman yang terjadi antara suami dan istri. Misalnya tidak nyaman untuk bicara, tidak nyaman untuk bercengkerama, sering salah paham dalam berkomunikasi, dan sering emosi terhadap pasangan. Suami dan istri saling melukai perasan dan menyakiti hati pasangan.
Sedangkan ketegangan fisik adalah tidak adanya kelembutan dalam sentuhan dan hubungan fisik antara suami dan istri. Suami berlaku kasar kepada istri, atau istri berlaku kasar kepada suami. Mereka melakukan kekerasan fisik, seperti pukulan, tendangan, tamparan, bahkan ada yang menggunakan peralatan dan senjata untuk melukai fisik pasangan. Tidak jarang berbuntut pembunuhan kepada suami atau istri sendiri.
Sangat banyak faktor penyebab munculnya ketegangan dalam keluarga. Ada faktor internal, yang bersumber dari suami dan istri sendiri; dan ada faktor eksternal, yang bersumber dari pihak lain di luar keluarga. Faktor internal bisa berupa temperamen suami atau istri yang emosional, ketidakmampuan menahan diri, ketidakmampuan berkomunikasi, sifat ego yang diikuti, ingin menang sendiri, tidak mau mengalah, sulit meminta maaf, kesulitan ekonomi, dan lain sebagainya.
Faktor eksternal bisa berupa munculnya WIL atau PIL, masalah saudara, ipar, problem dengan mertua, persoalan dengan tetangga, masalah di tempat kerja yang dibawa masuk ke rumah tangga, masalah pembantu rumah tangga, dan lain sebagainya. Baik faktor internal maupun eksternal, keduanya sangat dekat dan ada di sekitar kita bahkan ada dalam diri kita sendiri. Artinya, faktor penyebab munculnya ketegangan ada di mana-mana tidak jauh dari kita, sehingga sangat mudah untuk menyerang semua keluarga.
Meredakan Ketegangan
Ketegangan dalam keluarga adalah konsekuensi dari interaksi tanpa jarak dan terjadi setiap hari. Suami dan istri bertemu dan hidup di rumah yang sama, di kamar yang sama, di ranjang yang sama. Setiap saat berinteraksi dan berkomunikasi, tanpa jeda, tanpa batas waktu. Ketegangan juga muncul karena tingginya harapan yang tidak sesuai dengan kenyataan.
Dengan kata lain, ketegangan hubungan adalah sebuah kemestian dalam kehidupan keluarga. Yang diperlukan adalah upaya untuk meredakan dan meminimalisir peluang kejadiannya. Suami dan istri harus memiliki kesadaran dan keterampilan untuk mengelola berbagai faktor pemicu munculnya ketegangan, dan meredakan ketegangan apabila sudah terlanjur terjadi.
Ada banyak cara untuk meredakan ketegangan hubungan antara suami dan istri, di antaranya adalah:
1. Kegiatan Spiritual
Suami dan istri menguatkan aktivitas spiritual dengan melakukan ibadah secara tekun dan khusyu’. Misalnya suami dan istri menyengaja untuk bangun malam berdua, melakukan shalat malam dan berdoa bersama untuk mendapatkan kebaikan kehidupan keluarga. Atau menyengaja untuk mengundang tokoh spiritual, seperti ustadz atau ulama, untuk memberikan nasihat dan pencerahan untuk semua anggota keluarga. Bahkan jika memiliki keluangan dana, bisa melakukan umrah bersama satu keluarga.
Kegiatan spiritual seperti ini diharapkan mampu menjauhkan dan meredakan berbagai ketegangan hubungan antara suami dan istri. Dengan suasana spiritualitas keluarga yang terjaga, semua pihak akan selalu berusaha menjadi orang yang terbaik. Menjadi suami yang ideal, menjadi istri idaman, menjadi orang tua teladan, menjadi anak-anak sesuai harapan.
2. Kegiatan Rekreatif
Sesekali waktu suami dan istri perlu meluangkan kesempatan untuk melakukan rekreasi berdua saja, atau bersama semua anggota keluarga. Rekreasi ini tidak mesti menuju tempat wisata yang jauh dan mahal. Suasana rekreatif bahkan bisa dilakukan di rumah sendiri, dengan jalan melakukan hal yang tidak biasanya. Misalnya, makan malam berdua di teras samping rumah, atau mengobrol berdua di kebun belakang rumah, atau tidur di tenda yang dipasang di halaman belakang.
Kegiatan rekreasi diperlukan untuk menghindarkan kejenuhan akibat kegiatan yang rutin dan monoton dalam keluarga. Ketegangan bisa muncul karena suasana yang monoton, mekanistik, rutin dan membuat kejenuhan yang bertumpuk. Tidak ada variasi dan tidak ada rekreasi, membuat ketegangan mudah muncul. Harapannya, dengan kegiatan rekreasi keluarga, membuat suasana segar, mengendurkan syaraf, meredakan ketegangan sehingga suasana menjadi nyaman dan tenteram,
3. Kegiatan Sosial
Di antara hal yang bisa meredakan ketegangan dalam keluarga adalah kegiatan sosial. Aktif dalam berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan, membantu tetangga, menolong orang yang memerlukan, mengunjungi panti yatim piatu, menjenguk orang sakit, dan lain sebagainya, menjadi sarana untuk meredakan ketegangan hubungan antara suami dan istri. Dengan kegiatan sosial, suami dan istri dituntut untuk memberikan contoh keteladanan bagi masyarakat sekitar, minimal ada perasaan malu apabila ada keributan dalam keluarga mereka.
Selain itu, kegiatan sosial akan memberikan sikap empati atas masalah dan penderitaan yang dialami orang lain, sehingga diharapkan menjadi suatu pelajaran berharga bagi suami dan istri untuk kembali ke rumah dalam suasana yang bahagia. Mereka bisa melihat kesulitan yang dialami banyak kalangan masyarakat, sehingga akan memberikan pelajaran penting agar selalu menjaga keutuhan keluarga.
Selamat menikmati kebahagiaan bersama keluarga. Teh poci sore hari, pisang goreng panas ditambah sedikit keju dan coklat, mungkin sangat membahagiakan Anda berdua pada sore ini.

Rabu, 17 April 2013

SEMUA TENTANG WAKTU

Terkadang ia menjadi obat paling mujarab untuk menyembuhkan kepedihan, mengobati kesedihan, luka karena kehilangan, dan perasaan-perasaan tak enak sejenisnya. Karena dengan terus mengiringi jalannya, lambat laun semua perasaan-perasaan tak enak tersebut akan hilang, dengan mengikuti perputarannya perasan-perasaan itu akan lenyap, dan semuanya akan kembali baik-baik saja… Perasaan galau?? Termasuk salah satunya. Percayalah, seiring berjalan nya waktu, semua kegundahan, kegalauan yang kamu rasakan akan menemukan titik terangnya, seiring perputarannya semua itu akan berubah jadi sebaliknya, jadi lebih indah tentunya  :)

Waktu, terkadang ia juga bisa menjadi jawaban terbaik untuk semua pertanyaan yang rumit tentang masa lalu, cinta, tentang hidup, dan berbagai hal-hal misterius lainnya. (setuju atau tidak, tapi bagi saya, ketiga hal tersebut termasuk dalam golongan hal-hal misterius, kadang masuk akal, dan kadang kala tidak)  :)  Ya, waktu akan menjawab semua pertanyaan gymng tak pernah kamu temukan jawabannya. Karenanya, jangan terlalu panik, cemas, atau pun memforsir segala sesuatunya, seiring berjalan nya waktu, kamu akan menemukan jawaban-jawaban untuk semua pertanyaan tersebut, dengan izin Allah SWT pula tentunya  :)

Dan Waktu, terkadang ia bisa jadi jurang pemisah bagi sebuah hubungan. Ia bisa saja jadi pedang pembelah yang ganas bagi sebuah persahabatan.  Meskipun antara orang yang satu dan yang lainnya masih berpijak di bumi yang sama, masih bernaung di langit yang sama, masih bisa menatap rembulan yang sama, dan bahkan masih berada di negara atau kota yang sama, lambat laun karena waktu, toh mereka akan berjarak satu dengan yang lain bukan? Entah itu karena kesibukan masing-masing, karena kurangnya komunikasi, karena jarak yang memisahkan, dan pada ujungnya, karena berjalannya waktu, hubungan itu bisa saja akan berubah, akan terasa hambar mungkin. Karena nya kita dituntut bijak dalam menyikapi hal yang satu ini, agar waktu tidak merampas tali persaudaraan dan persahabatan yang sudah kita jalin. Karenanya, jadikanlah komunikasi sebagai jembatan penghubungnya.

Namun beruntunglah ia, orang-orang yang mampu mengendalikan waktu. (bukan mengendalikan waktu seperti yang bisa dilakukan doraemon dengan mesin waktunya atau ninja hatori dengan jurus menghentikan waktunya yaa :)  ), tapi orang-orang yang bisa memanfaatkan perputaran setiap detik itu dengan baik, karena pada hakikatnya, dalam setiap detik itu akan ada pelajaran yang bisa kita dapat. Seiring berjalannya waktu, harusnya ada perubahan pola pikir kita, seiring berjalannya waktu, harusnya ada peningkatan sikap, seiring berjalannya waktu, harusnya ada pencapaian yang lebih baik, seiring berjalannya waktu harusnya ada banyak perubahan ke arah yang lebih baik pada diri kita, manusia. Karena sungguh, kita tidak akan pernah tau sampai kapan kita bisa menikmati perjalanan waktu tersebut, kita tidak pernah tau berapa lagi sisa waktu yang Allah SWT beri untuk kita di dunia ini, bisa saja 5 detik lagi, 60 menit lagi, 1 bulan lagi, 365 hari lagi, entah laahh..

Tapi dibalik itu semua, percayalah pada kata-kata “semua akan indah pada waktunya”.  Ya, semuanya, masalah pekerjaan, karir, pendidikan, jodoh, apapun itu, akan indah pada waktunya. Semua itu akan indah di saat yang tepat, di waktu yang tepat. Saat yang terbaik menurut Sang pemutar dan pemilik waktu itu sendiri, Allah ta’ala. Karena percayalah, Allah SWT telah mempersiapkan rencana-rencana terindah di waktu terbaik untuk masing-masing hamba NYA.

So guys, Let’s do all the best in the rest of time that we had.  Let’s keep our remaining time with all of useful things in this world…  :)

Selasa, 12 Maret 2013

Babad Bumi Cahyana




Jauh sebelum Wirasaba dan Onje berdiri, apalagi Purbalingga, di Cahyana, Kecamatan Karangmoncol telah berdiri pusat pemerintahan yang solid dan disegani. Diperkirakan mulai dirintis sekitar tahun 1450, atau 559 tahun yang lalu. Purbalingga berusia 179 tahun maka selisihnya 380 tahun.

Adalah seorang Putra Kerajaan Pajajaran yang bernama Raden Liman Sujana. Walau turunan raja, dengan tegas ia menolak untuk duduk di Kabinet Pajajaran Bersatu. Ia memperkirakan dengan pasti bahwa Pajajaran akan segera runtuh. Pajajaran saat itu mengalami masa transisi karena masuknya Agama Islam. Ia mengembara ke daerah Banten dan bertapa di bukit batu karang di bawah pohon jambu. Di saat bertapa ternyata ada ajakan gaib, berupa cahaya, yang seperti menuntun jiwa dan raganya. Raden Liman Sujana kemudian berjalan menyusuri pantai utara Pulau Jawa. Kira-kira sampai di daerah Tegal, ia membelok ke selatan. Cahaya gaib menuntunnya terus untuk menuju ke selatan dan sampai ke sebuah bukit yang bernama Gunung Munggul. Dan di Gunung Munggul ini, ia melihat orang yang sedang naik (menek) pohon kelapa sambil menggendong seorang anak. Indra kewaskitaannya terusik untuk mengenal sang pemanjat pohon. Maka terungkaplah bahwa sang pemanjat pohon itu bernama Ki Kelun, rumahnya di desa Wanakasimpar, anak perempuan yang digendongnya bernama Rubiah. Ki Kelun sayang sekali kepada Rubiah sehingga Rubiah digendongnya kemana-mana.

Cahaya gaib yang menuntun R. Liman Sujana menghilang. Menyadari hal tersebut beliau menetapkan diri untuk tinggal di desa Wanakasimpar yang saat itu masih berupa hutan. Ia bertekad untuk membaktikan dirinya bagi lingkungan Gunung Munggul. Anak Ki Kelun si Rubiah diambil sebagai anak angkat, namanya diperpanjang menjadi Rubiah Bhakti. Wanakasimpar pun berubah menjadi Cahyana, barangkali dari kata “ana cahya, cahya ana”.

Keberadaan R. Liman Sujana membuat Cahyana menjadi sebuah desa yang maju dan menarik orang untuk ikut mukim di sana. Cahyana berkembang layaknya sebuah kadipaten dengan R. Liman Sujana sebagai pusatnya. Banyak juga pendatang dari luar daerah. Salah seorang di antara mereka adalah keturunan Arab, bernama Rakhmat. Dia berterus terang bahwa salah satu maksudnya datang ke Cahyana adalah untuk menyebarkan Agama Islam. Ia berniat agar Islam merata di Tanah Jawa.

Maksud tersebut menjadikan R. Liman Sujana tidak suka, namun ia adalah tokoh yang bisa menahan diri. Maka dengan caranya R. Liman Sujana pun minta secara baik-baik untuk mencoba dan mengadu kesaktiannya dengan Rakhmat. Hasil akhirnya, ia harus mengakui bahwa Rakhmat lebih sakti dibanding dirinya. Dengan penjelasan Rakhmat tentang Islam, R. Liman Sujana bersedia menjadi muslim, ia merasuk Agama Islam. Sang anak angkat, Rubiah Bhakti, yang telah dewasa pun dinikahkan dengan Rakhmat. Keberadaan dua tokoh ini menjadikan nama Cahyana semakin melambung sebagai wiyata mandala, tempat belajar Agama Islam, pesantren.

Rakhmat kemudian meninggalkan Cahyana dan menetap di sebuah tempat yang diberi nama Rajawana --Wanakasimpar bergeser menjadi Rajawana, masih ada “wana”-nya--. Namun saat itu secara regional nama Cahyana lebih menonjol daripada Rajawana. Agama Islam pun berkembang pesat di daerah tersebut. Kedua tokoh pendatang ini terkenal dengan sebutan syekh, artinya orang yang ahli dalam hal pengetahuan Agama Islam. Tata pemerintahan pun dijalankan sesuai dengan ajaran Islam. Tidak ada istilah adipati, patih, tumenggung, dan sebangsanya! Nama Liman Sujana disesuaikan menjadi Imam Sujana, berdasarkan riwayat saat awal bertapa, ia memilih gelar sebagai Syeh Jambu Karang. Sang menantu angkat, tetap sesuai dengan gelar awalnya yaitu Syekh Wali Rakhmat.

Pernikahan Syekh Wali Rakhmat dengan Rubiah Bhakti, menurunkan tiga putera dan dua orang puteri.
  1. Pangeran Makhdum Kusen, makamnya di Rajawana
  2. Pangeran Makhdum Madem, makamnya di Cirebon
  3. Pangeran Makhdun Umar, makamnya di Pulau Karimunjawa
  4. Nyai Rubiah Razak, makamnya di Ragasela, Pekalongan
  5. Nyai Rubiah Sekar, makamnya di Jambangan, Banjarnegara.
Syeh Wali Rakhmat sampai ke wilayah Purbalingga sekitar lima puluh tahun sebelum Demak berdiri. Bersama Syeh Jambu Karang membangun Cahyana. Rajawana berkembang menjadi pusat pendidikan Agama Islam.  Namun demikian nama Cahyana lebih kesohor daripada Rajawana. Ketika Syeh Wali Rakhmat merasa telah cukup dalam menyampaikan pengetahuan Agama Islam, ia memberi kesempatan kepada putra dan putrinya untuk meneruskannya. Syeh Wali Rakhmat yang saat itu sudah berusia senja, mohon diri dan kembali ke negara asalnya, Arab. Pangeran Makhdun Kusen, puyta sulungnya, kemudian dipercaya memimpin pesantren Rajawana, di Cahyana ini.

Cahyana yang berada di kaki pegunungan, antara Gunung Dieng dengan Gunung Slamet (disebut juga Gunung Gora) adalah wilayah yang jauh dari ibukota kerajaan. Baik kerajaan di wilayah barat, Kerajaan Sunda, maupun yang berada di sebelah timur, kerajaan Majapahit. Kedua kerajaan menganggap wilayah di lembah Sungai Serayu dan Sungai Klawing ini adalah milik mereka. Garis batas yang tidak jelas menjadikan Cahyana dianggap sebagai bagian dari Kerajaan Sunda dan juga Kerajaan Majapahit. Namun para wali penyebar Agama Islam berada di wilayah Majapahit sehingga menjadikan Cahyana lebih condong ke Majapahit. Kemasyhuran Cahyana sampai ke Kerajaan Sunda, Prabu Niskalawastukancana, seorang raja yang bertahta sampai 104 tahun (1371 – 1475) mengutus prajuritnya pergi ke Cahyana. Mengharap agar Pangeran Makhdun Kusen bersedia menghadap ke Kerajaan Sunda. Menurutnya Cahyana adalah milik Kerajaan Sunda. Pangeran Makhdun Kusen menolak, tidak bersedia ke Sunda, ia berpendirian bahwa bumi ini adalah milik Allah SWT, bukan milik Raja Sunda yang dianggapnya masih kafir. Cahyana justru akan bergabung dengan para wali yang berada di Majapahit.

Gejala separatisme ini menjadikan Prabu Niskalawastukancana marah. Dikirimkannya satu pasukan besar prajurit pilihan untuk menggempur Cahyana, tepatnya mengempur Rajawana. Berita kedatangan prajurit Sunda ketahuan oleh Pangeran Makhdum Kusen sebelum sampai ke Rajawana, Karena sebuah pesantren maka Rajawana tidak punya prajurit, yang ada adalah para santri dan sahabat-sahabatnya. Setelah shalat ashar, para santri dikumpulkan. Santri putra disuruh mengawasi rumah-rumah penduduk agar jangan sampai dirusak. Santri Putri ditugaskan untuk bersiap menyambut prajurit Sunda dengan cara menabuh rebana di belakang pintu gerbang. Rebana bukan sembarang rebana, tapi rebana yang telah dibuat menjadi “luar biasa” berkat doa Pangeran Makhdun Kusen.

Pada saat menjelang magrib, di saat Pasukan Prajurit Sunda mempersiapkan tempat untuk bermalam di pinggir sebuah sungai, Pangeran Makhdun Kusen memerintahkan satri putrinya untuk membunyikan rebana. Pangeran Makhdun Kusen sendiri masuk kedalam kamar dan shalat hajat, mohon perlindungan Allah dari serangan prajurit Sunda.

Inilah salah satu “kesaktian” Pangeran Makhdun Kusen, begitu rebana ditabuh, maka bersamaan dengan bunyi rebana, terdengar pula bunyi dengung yang lain. Ternyata itu adalah bunyi ribuan tawon gung yang seakan keluar dari kamar Pangeran Makhdun Kusen. Ribuan tawon terbang dan menyerang para prajurit Sunda. Terjadilah pertempuran anatara tawon gung dengan prajurit Sunda. Tengah malam para prajurit baru mampu mengalahkan serangan tawon.

Mereka sadar tawon gung ini adalah bagian dari kesaktian Pangeran Makhdun Kusen. Kesadaran itulah yang menjadikan mereka lebih hati-hati saat menyerang Rajawana pada pagi harinya. Serangan pagi harinya membuat para sahabat Pangeran Makhdun Kusen  dan santri Rajawana kewalahan. Pangeran Makhdun Kusen pun berdoa kembali, mohon pertolongan Allah. Ajaib, tidak lama kemudian tiba-tiba ada jin besar yang segera mengamuk, memporak-porandakan prajurit Sunda. Pimpinan prajurit Sunda pun memerintahkan seluruh prajuritnya untuk mundur dan kembali ke Sunda.

Kemenangan tersebut membuat beberapa santri putri mengalami eforia, mereka menabuh rebana dan bernyanyi-nyanyi. Maka sejak saat itu santri putri memiliki kegiatan baru yaitu menabuh rebana dengan diiringi nyanyian yang bernafaskan Islam. Belakangan kesenian ini disebut dengan nama “Braen”. Kini menjadi kesenian khas Pekiringan.

Kedamaian di Rajawana membuat kehidupan Pangeran Makhdun Kusen semakin bahagia. Para wali di pusat kerajaan Majapahit pun meneruh perhatian lebih terhadap wilayah Cahyana. Pangeran Makhdun Kusen memiliki seorang putra, yaitu Pangeran Makhdun Jamil.

Ceritera tentang empat orang wali yaitu Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus dan Sunan Gunungjati yang sempat mengadakan kunjungan kerja ke Wilayah Purbalingga, di saat reses, tidak ada sidang.

Tercatat bahwa pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di seluruh Nusantara surut. Menjelang berdirinya Kerajaan Demak pengaruh para wali dan penyebar Agama Islam justru semakin berperan. Agama Islam merata di Pulau Jawa. Setelah Cahyana di Gunung Munggul, maka terceriterakan pula bahwa, sedikitnya, ada satu tempat lagi yang dijadikan sebagai basis perkembangan Islam pada masa itu, yaitu di Onje. Di Onje telah berdiri semacam pesantren dengan tokoh legendaris penyebar Agama Islam bernama Syeh Syamsudin.

Konon Syeh Syamsudin, dalam pengembaraannya menuju Cahyana ia sempat menemukan tempat yang menurutnya sangat ideal untuk mesu diri, olah jiwa berpasrah diri kepada Yang Maha Kuasa. Ia menemukan bahwa di barat sungai besar ada tempat  pertemuan tiga buah sungai. Tiga sungai yang sangat jernih bergabung menjadi satu, dan tidak jauh kemudian gabungan sungai itu pun bermuara di Bengawan Klawing.

Begitu terpesona dengan suasana di tempat tersebut, Syeh Syamsudin pun beristirahat dan melaksanakan sholat di pinggir sungai. Kemudian beliau berkehendak untuk mendirikan sebuah masjid. Arah hadap sholat, kiblat, pun diumumkan, “Jika kita di sini cukup menghadap Gunung Gora (Gunung Slamet, Gora = Agung) maka itulah arah hadap sholat kita” artinya bahwa Gunung Gora kebetulan searah dengan arah terbenamnya matahari, searah pula dengan arah Baitullah. Pada jaman dahulu, sungai, gunung, pegunungan, dan benda di langit merupakan petunjuk geografi yang paling utama.

Maka dengan tiang, empat batang pohon pakis dan atap ijuk, berdirilah sebuah masjid di dekat pertemuan tiga sungai. Sebagai tempat pengimaman, dibuat dari sebuah batu yang datar. Sejak saat itu berdirilah semacam pesantren di Onje.

Keberadaan Cahyana di samping diketahui oleh pihak kerajaan, tentu saja diketahui oleh para wali di Majapahit. Kegagalan serangan pasukan Raja Sunda terhadap Pangeran Makhdun Kusen menjadikan Cahyana makin dikenal oleh para wali. Sama halnya dengan Cahyana, keberadaan Masjid Onje juga diketahui para wali.

Maka dikisahkan bahwa empat orang wali, yaitu Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Jati, suatu waktu sempat berkunjung ke Cahyana. Kehadiran mereka adalah untuk menghormati Syeh Jambukarang yang sudah kembali ke rakhmat Allah. Syeh Jambukarang sudah dimakamkan di salah satu Puncak Gunung Munggul. Kini di sebut Ardi Lawet.

Para wali berpesan agar pemakaman para leluhur hendaknya dihormati dan dirawat dengan baik. Dijanjikan juga bahwa berdasarkan kemajuan Cahyana maka pada saatnya tentu wilayah ini akan mendapat perhatian khusus dari pihak istana.

Setelah dari Cahyana para wali, berempat, ternyata berkenan untuk berkunjung ke Onje. Alkisah, ketika di Onje, karena melihat bangunan masjid yang sangat sederhana, keempat wali itu sepakat, memperbaiki masjid. Maka, di antaranya, dengan dibantu oleh cucu Pangeran Makhdun Kusen dari Cahyana, yakni putra dari Pangeran Makdun Jamil, tiang penyangga Masjid Onje yang tadinya menggunakan batang pakis diganti dengan menggunakan kayu jati. Dan tiang kayu jati inilah yang diyakini hingga kini masih asli. Sampai sekarang masih utuh.

Alhamdulillah, ternyata hasil karya para wali, termasuk Sunan Kalijaga pun sempat ada di wilayah Purbalingga!

Setelah memperbaiki Masjid Onje, empat wali tersebut terinspirasi untuk memperbaiki sebuah masjid yang berusia sekitar sepuluh tahun, di Demak. Masjid yang didirikan oleh Sunan Ampel, bentuknya hanya berupa bangunan pondok pesantren, dikenal dengan nama Pondok Pesantren Glagahwangi. 

Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Jati, segera pergi ke Demak, dan dibantu oleh para wali yang lain, mulai merenovasi masjid pesantren Glagahwangi. Lama memperbaiki masjid Glagahwangi itu dua tahun. Sesuai dengan candrasengkala (candra = bulan, sengkala = hitungan waktu; artinya waktu yang dihitung berdasarkan peredaran bulan) yang ada pada masjid yaitu: “Lawang Trus Gunanning Janma”, yang berarti tahun Saka 1399 atau tahun Masehi 1477, tahun itulah pertama kali masjid direnovasi, dan kelak kemudian, dikenal dengan nama Masjid Agung Demak.

Menyimak ceritera di atas maka sewajarnyalah kita berpendapat bahwa masjid di Desa Onje itu usianya lebih tua dari Masjid Agung Demak. Dan sudah sewajarnya masjid itu termasuk benda cagar budaya, kekayaan Purbalingga, yang wajib kita lindungi keberadaannya.

Jika ke Onje, di gerbang yang melengkung, di depan mesjid, tertulis Masjid R. Sayyid Kuning. Lho kok, Masjid R. Sayyid Kuning, bukan Masjid Agung Onje? Kenapa?

Sekedar info bahwa di Desa Onje, Kecamatan Mrebet, Kabupaten Purbalingga, ternyata dikenal sebagai pusat pelestarian ajaran Tarikat Islam Aboge. Menurut ceritera Ajaran Islam Aboge kali pertama diperkenalkan oleh Raden Ngabdullah Syarif Sayyid Kuning. Itulah ceritera mengapa ada tulisan R. Sayyid Kuning.


Pangeran Wali Prakosa  adalah canggah Syeh Jambukarang yang dimakamkan di Ardi Lawet, Gunung Munggul!  Buyutnya Syeh Wali Rahmat (Syeh Atas Angin). Beliau adalah cucu Pangeran Makhdun Kusen. Putra Pangeran Makhdun Jamil di Bumi Cahyana, Karangmoncol, Purbalingga. Pangeran Wali Prakosa, lebih kesohor dari pada kakaknya yang bernama Pangeran Makhdum Tores.

Terceriterakan pada suatu hari Pangeran Makhdum Tores minta kepada adiknya agar segera pergi ke Kerajaan Demak, harus melapor karena takut, ada kemungkinan wilayah Cahyana akan diambil alih oleh Kerajaan Sunda. Pangeran Makhdum Prakosa pun segera ke Demak menghadap Sultan Trenggana.

Sesampainya di kasultanan ia diterima oleh seorang penghulu khalipah yang bernama, Kusen. Dalam catatan babad, Pangeran Wali Prakosa saat itu disebut sebagai “kaum pengalasan kilen”, maksudnya santri dari daerah hutan wilayah barat.

Setelah bertemu dengan Sultan ia pun ditanya asal-usulnya, Pangeran Wali Prakosa menjawab bahwa ia berasal dari Jiyana. Sang Sultan tidak mengenal Jiyana tapi kalau yang dimaksud Cahyana, Sultan mengenalnya. Para wali setelah berkunjung ke Cahyana dan Onje menceriterakannya ke Sultan. Pangeran Wali Prakosa membenarkan dia berasal dari Cahyana yang dimaksud dan yang membantu para wali saat mengganti tiang dan memperbaiki Masjid Onje.

Sultan sangat berkenan dengan kemampuan Pangeran Wali Prakosa maka ia diminta untuk ikut membantu pembangunan Masjid Demak, saat itu kebetulan masjid kekurangan satu tiang utama, saka guru. Pangeran Wali Prakosa disarankan untuk menemui Sunan Kalijaga agar dapat melangkapi kekurangan saka guru tersebut.

Alkisah, sesungguhnya saat itu Sunan Kalijaga sedang bersemedi di Giri Malaka. Namun karena kewaskitaannya ia mampu menangkap kehendak Sultan Trenggana dan Pangeran Wali Prakosa yang ingin menemuinya. Sunan Kalijaga segera bangun dan melakukan perjalanan sehari semalam untuk sampai di Demak. Kemudian bertemu disekitar istana dengan Pangeran Wali Prakosa yang saat itu masih dipanggil Pangeran Makhdum.

“Lho, apa yang ditugaskan oleh Kanjeng Sultan?” tanya Sunan Kalijaga
“Saya diberi tanggung jawab satu tiang utama untuk Masjid Demak, dan menemui Kanjeng Sunan Kalijaga!” jawab Pangeran Wali Prakosa. Keduanya sepakat tidak usah mencari kayu jati ke hutan. Tapi akan membuat tiang dari bahan yang tersisa saja.
“Baiklah, saya yang akan membantu mengatur dan menghaluskan pekerjaan membuat satu tiang tersebut!” kata Sunan Kalijaga.
Maka bekerjalah dua orang tersebut. Mengumpulkan tatal, potongan-potongan kayu jati yang tidak terpakai, lalu disusun menjadi balok panjang, dihaluskan dan jadilah salah satu tiang Masjid Demak yang paling unik, yang disebut saka tatal.

Pada akhirnya Masjid Demak pun dianggap sudah siap diresmikan penggunaannya. Namun di saat fajar, menjelang shalat shubuh, Sunan Bonang terkesiap, ketika memperhatikan bayangan masjid di bawah langit pada pagi buta saat itu. Tampak jelas bahwa bangunan masjid ternyata miring, dhoyong, atau tidak tegak benar. Para wali kebingungan. Tidak mungkin dibongkar ulang, sehingga merasa bahwa pekerjaan menegakkan bangunan agar tegak, bukan pekerjaan yang mudah. Ketika masing-masing wali berteori cara menegakkan bangunan, Pangeran Wali Prakosa dengan sopan mengusulkan, agar menggunakan cara yang paling efisien.

“Apa saranmu, anak Cahyana?” pertanyaan Sunan Bonang. Para wali dan Sultan Trenggana menatap Pangeran Wali Prakosa dengan penuh harap.

“Jika berkenan biarlah hamba jadi palu, sedang Kanjeng Sultan dan para Wali menjadi gandennya. Insya Allah masjid dapat menjadi tegak!” kata Pangeran Wali Prakosa.

Sunan Bonang, para Wali dan Sultan Trenggono terdiam. Suasana demikian hening. Masing-masing berpikir yang dimaksud dengan palu dan ganden. Palu adalah alat pemukul yang dibuat dari besi, sedang ganden terbuat dari kayu.
“Apa yang kau maksudkan, Makhdum?” tanya Sultan Trenggana.
“Bila Paduka berkenan, para wali yang berdoa, nanti hamba yang mengamini. Semoga Allah mengabulkan” jawab Pangeran Wali Prakosa sopan.
“Baiklah mari kita lakukan” jawaban Sultan dan kemudian mengajak semua yang ada hadir untuk terlibat. Para wali menenmpatkan diri di depan, dan mengucapkan doa dipimpin Sunan Bonang. Pangeran Wali Prakosa di belakang mengamini. Namun setelah beberapa lama ditunggu ternyata kondisi masjid masih tetap dhoyong.
“Bagaimana, Makhdun?” pertanyaan Sultan seakan minta penjelasan dengan tegas.
“Ampun Sinuhun, kalau Kanjeng Sultan berkenan, ijinkan hamba yang berdoa, sedang para wali dan yang hadir yang mengamini. Insya Allah masjid dapat tegak!”
Sultan Trenggana dengan kebesaran hatinya, percaya akan kemampuan “kaum pengalasan kilen” ini, sehingga Sultan pun segera memberi restu.
Konon Pangeran Wali Prakosa meminta para wali, di saat mengamini doanya sambil memegang saka guru buatan masing-masing. Luar biasa! Tanpa terasa prosesnya, namun terbukti faktanya. Masjid ternyata telah berdiri tegak sesuai yang dikehendaki. Semua mengucapkan alhamdulillah, puji syukur kepada Allah Yang Maha Perkasa.
“Keperkasaan kami berkat doamu, Makhdun. Maka kau kuberi gelar Wali Prakosa. Dan kau kutugaskan untuk melanjutkan, meng-Islam-kan para kawula di lereng BUkit Cahyana!” kata-kata Sultan, memberi gelar dan tugas kepada Pangeran Wali Prakosa. Dan sejak saat itulah nama Pangeran Makhdun Wali Prakosa menjadi gelar putra Cahyana ini.
Sultan merasa sangat senang dengan kemajuan wilayah Cahyana dan kemampuan Pangeran Wali Prakosa sehingga Sultan secara resmi memerdekakan Cahyana dari memberikan pajak terhadap negara. Seluruh pendapatan Cahyana diijinkan untuk kepentingan penyebaran Agama Islam dan merawat makam leluhur. Cahyana adalah bagian dari Kerajaan Demak, dan menjadi tanah perdikan. Bunyi piagam yang terdokumentasi kurang lebih berbunyi seperti ini:
“Penget layang kang idi Pangeran Sultan ing Demak. Kagaduha dening Mahdum Wali Prakosa ing Cahyana. Mulane anggaduha layang ingsung dene angrowangi amelar tanah. Sun tulusaken Pamardikane pesti lemah Perdikane Allah tantaha ana angowahana ora sun wehi suka halal dunya aherat. Anaa anak putu aba aniaya. Mugaa kena gutuking Allah  lan olia bebenduning para wali kang ana ing Nusa Jawa. Estu yen peperdikane Allah”

Menyimak kalimatnya berarti Sultan Trenggana menilai bahwa Cahyana telah membantu meluaskan wilayah Demak. Dan barang siapa yang mengubah surat keputusan tersebut, ora sun wehi (baca: dikutuk) kebahagiaan yang khalal di dunia dan akherat, juga akan dikutuk Allah, dan oleh para wali yang ada di Pulau Jawa. Peringatan keras Sultan Trenggana terhadap pelanggaran surat keputusan tadi.

Kesimpulannya sederhana. Menurut Babad Cahyana ini ternyata yang membuat tiang tatal bukanlah Sunan Kalijaga, tapi Pangeran Wali Prakosa, “insinyur bangunan” dari Cahyana, Purbalingga. Sunan Kalijaga hanya mengatur dan membantu. Sultan Trenggana, dan lingkungan istana sebagai pusat pemerintahan, sangat menghargai kemampuan dan potensi wilayah Cahyana.

Kini berceritera tentang Pangeran Wali Makhdum Cahyana. Konon Pangeran Wali Makhdum Cahyana ini adalah keturunan Sunan Ampel di Ampeldenta, Surabaya, Jawa Timur. Sunan Ampel adalah wali yang sangat dihormati oleh para pejabat kerajaan Demak Bintara dan dihormati pula oleh para wali.

Raden Patah, Sultan Kerajaan Demak Bintara, mempunyai istri yang bernama Nyai Ageng Maloka, ia adalah cucu Sunan Ampel.  Istri Sunan Kalijaga pun adalah cucu Sunan Ampel. Putri Sunan Ampel yang bernama Siti Murtosiyah diperistri oleh Sunan Giri. Dengan demikian wajar betapa bermartabatnya Sunan Ampel di hadapan para wali dan pejabat kerajaan pada saat itu.

Dikisahkan dua orang cucu dari Sunan Ampel, yang laki-laki, sebut saja Pangeran Nurcahya dan yang perempuan Putri Aini. Keduanya dari Ampeldenta, berniat menunaikan ibadah haji ke Mekkah, Tanah Arab. Dalam perjalanannya, kedua cucu Sunan Ampel ini berniat untuk singgah dahulu di Cirebon. Di samping menambah bekal ilmu keislamannya juga sekalian ingin berpamitan dengan para kerabat Kasultanan Cirebon. Maka ketika kapal yang membawanya sampai di Cirebon, Pangeran Nurcahya dan Putri Aini ini menghadap Sultan Cirebon. Keduanya menetap beberapa hari di Cirebon. Dalam waktu yang singkat itu, ternyata Sultan Cirebon terpesona oleh kecantikan Putri Aini. Kharisma Sunan Ampel juga menjadikan Sultan Cirebon bermaksud memperistri Putri Aini. Dalam waktu dekat, Putri Aini pun menjadi istri Sultan Cirebon. Kini dengan status sang putri sebagai istri sultan menjadi kendala niat niat Pangeran Nurcahya dan Putri Aini untuk naik haji.

Demikianlah barangkali karena perkenalan yang terlalu singkat. Pernikahan Putri Aini dengan Sultan Cirebon tidak berlangsung lama. Kebahagiaan tak didapat, derita batin menjadi siksaan raga. Diceriterakan bahwa pada suatu malam karena kejadian yang tidak menyenangkan, menjadikan Putri Aini keluar dari Kasultanan Cirebon. Malam itu juga Pangeran Nurcahya dan Putri Aini meloloskan diri. Keduanya keluar secara diam-diam menembus malam.

Tanpa bekal yang cukup keduanya masuk keluar hutan. Berjalan ke arah timur dan kemudian mengikuti kata hati meneruskan perjalanan ke arah selatan. Berhari-hari perjalanan menembus hutan. Pangeran Nurcahya berjalan di depan, ia membuka dan membuat jalan. Hutan lebat ditembusnya. Tidak heran jika ia terkena duri di seluruh badannya. Luka terkena duri, menabrak miang, terantuk batu, dan jatuh tersungkur menjadi ujian baginya. Luka diseluruh tubuhnya menjadi koreng, kulit bernanah dan mengelupas di sana-sini.

Takdir membawa Pangeran Nurcahya dan Putri Aini sampai di Tanah Perdikan Cahyana. Saat itu sesepuh Perdikan Cahyana adalah Pangeran Makhdun Wali Prakosa. Dengan rasa prihatin diterimanya Pangeran Nurcahya dan Putri Aini yang saat itu tampak sebagai orang kabur kanginan, orang yang tidak punya identitas jelas.

Kemudian beliau berguru, menjadi santri dari Pangeran Makhdum Wali Prakosa. Orang Cahyana melihat badan Pangeran Nurcahya yang penuh luka, penuh dengan koreng, dikatakannnya gudigen. Gudig adalah istilah untuk orang yang kulitnya menderita gatal. Ketika digaruk umumnya menimbulkan luka. Hal seperti itulah yang dimaksud gudigen. Setelah diangkat menjadi santri, Pangeran Nurcahya, mendapat julukan sebagai Santri Gudig. Santri Gudig belajar keislaman di Masjid Pekiringan.
Masjid Pekiringan, kini disebut Masjid Jami’ Wali Perkasa. Masjid ini didirikan oleh Pangeran Makhdun Wali Prakosa, segera setelah pulang dari Demak. Di Demak Pangeran Makhdun Wali Prakosa ikut membangun masjid Agung Demak, bahkan dikisahkan beliaulah yang sebenarnya membuat saka tatal. Dengan demikian Masjid Jami’ Wali Perkasa ini diyakini bahwa usianya hampir sama dengan Masjid Agung Demak yang dibangun sekitar tahun 1420. Walau sudah sembuh namun Pangeran Nurcahya tetap dikenal dengan panggilan Santri Gudig. Ia menjadi santri yang cakap, sopan dan patuh pada guru. Maklum ia adalah cucu Sunan Ampel, maka dalam olah sastra dan kanuragan menjadi lebih menonjol dibandingkan dengan santri yang lain. Pangeran Makhdun Wali Prakosa sayang sekali kepadanya. Kain yang dipakai tidur Pangeran Nurcahyo pada suatu malam bercahaya-cahaya seperti ada apinya. Hal tersebut diketahui oleh Pangeran Makhdun Wali Prakosa yang kemudian berkenan untuk menjadikannya sebagai menantunya. Ia dinikahkan dengan putri beliau yang bernama Pangeran Estri. Santri Gudig pada akhirnya dikenal dengan nama Pangeran Makhdun Wali Cahyana dan diserahi tugas untuk memimpin Tanah Perdikan Cahyana. Dalam keseharian Pangeran Wali Makhdum Cahyana dikenal sebagai orang yang memiliki keahlian luar biasa saat menangkap ikan. Beliau juga dikenal juga ahli dalam bidang pertanian, sehingga hasil pertaniannya luar biasa baiknya, keahlian ini diajarkannnya kepada masyarakat Cahyana. Beliau membuat lumbung padi untuk mengumpulkan padi zakat untuk dibagikan ke yang ber hak. Keahlian yang secara tidak sengaja disaksikan oleh masyarakat Cahyana adalah belia mempunyai ilmu rahasia untuk menghilang saat ada musuh. Lalu ketika membuat lantai rumah beliau pergi ke sungai dengan membawa sepotong ranting daun waru yang dijadikan cambuk, ia menggiring batu-batu kali yang berjalan bagai hewan ternak, lalu menyusun diri untuk menjadi lantai rumah. Luar biasa.

Sumber : berbagai sumber.

Minggu, 10 Maret 2013

SEJARAH PREMAN DI DJEKARTHAH

Hercules menetap di Jakarta, dan segera merajai dunia para jagoan. Ia menguasai Tanah Abang. Namanya pun selalu dekat dengan kekerasan. Kekuasaan tak abadi. Pada 1996, ia tak mampu mempertahankan kekuasaannya di pasar terbesar se-Asia Tenggara itu. Kelompoknya dikalahkan dalam pertikaian dengan kelompok Betawi pimpinan Bang Ucu Kambing, kini 64 tahun.

Peralihan penguasa bisnis jagoan di Ibu Kota bukanlah suksesi yang mulus. Pada 1990-an, area ini dikuasai Hercules. Ia semula pemuda Timor yang direkrut Komando Pasukan Khusus, atau Kopassus, pada saat proses integrasi wilayah itu ke Indonesia. Terluka dalam kecelakaan helikopter, ia dibawa Gatot Purwanto, perwira pasukan yang dipecat dengan pangkat kolonel setelah insiden Santa Cruz, ke Jakarta. Sejak itu ia tak lagi berkuasa. Tapi namanya telanjur menjadi ikon. Seorang perwira polisi mengatakan, setiap pergantian kepala kepolisian, Hercules selalu dijadikan “sasaran utama pemberantasan preman”.

Pada masa kejayaan Hercules, ada Yorrys Raweyai. Pada awal 1980-an, ia bekerja menjadi penagih utang. Kekuatan pemuda asal Papua ini ditopang Pemuda Pancasila, organisasi yang mayoritas anggotanya anak-anak tentara. Dia menjadi ketua umum organisasi itu pada 2000 dan melompatkan kariernya di politik. Dia kini anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Golkar. Pada generasi yang sama, Lulung, bekas preman Tanah Abang, kini menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta dari Partai Persatuan Pembangunan. Usahanya dimulai dari pengumpul sampah kardus bekas hingga barang bekas. “Karier”-nya mencorong ketika kemudian bermain dalam usaha pengamanan Tanah Abang. Untuk melestarikan kekuatan, Lulung memilih jalur resmi. Ia mendirikan PT Putraja Perkasa, lalu PT Tujuh Fajar Gemilang, dan PT Satu Komando Nusantara. Perusahaan ini disesuaikan dengan “kompetensi inti” Lulung: jasa keamanan, perparkiran, penagihan utang. “Kami masuk lewat tender resmi,” ujarnya.

Pada 1996, ketika Hercules berhadapan dengan Bang Ucu, Lulung memilih “berkolaborasi” dengan kelompok Timor. Alhasil, ia dikejar-kejar teman-temannya di Betawi. Bang Ucu menyelamatkannya. Itu sebabnya, kini Lulung rajin menyetor dana ke Ucu. Dari Nusa Tenggara Timur ada nama Zakaria “Sabon” Kleden. Mendarat di Betawi pada 1961, Zaka-begitu dia disapa-mengatakan menjadi preman pertama asal daerahnya. “Dulu istilahnya geng. Ada geng Berland, Santana, dan Legos,” tuturnya kepada Tempo.
Riwayat Zaka tak kalah berdarah. Ia mengaku sempat memutilasi korbannya. Ia juga mengatakan telah menembak mati beberapa orang. “Saya membela harga diri saya,” ujarnya. Tapi ia mengatakan tak pernah dinyatakan bersalah. “Saya sering ditahan, tapi tidak pernah dihukum penjara,” kata pria yang sangat dihormati kelompok preman terutama dari daerah Nusa Tenggara Timur itu. Tiga tahun lalu, Zaka menjalankan bisnis sekuriti, PT Sagas Putra Bangsa.

Dari eranya, Zaka menyebutkan nama ketua geng seperti Chris Berland, Ongky Pieter, Patrick Mustamu dari Ambon, Matt Sanger dari Manado, Jonni Sembiring dari Sumatera, Pak Ukar dan Rozali dari Banten, Effendi Talo dari Makassar. “Komunikasi di antara kami baik, maka jarang bentrok berdarah,” tuturnya.
Pada awal 2000, muncul Basri Sangaji. Tapi dia terbunuh dalam penyerangan berdarah di Hotel Kebayoran Inn, Jakarta Selatan. “Bisnis”-nya diteruskan anggota keluarga Sangaji: Jamal dan Ongen. Ongen kini mantap dengan karier politiknya, menjabat Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Hanura Jakarta. “Target saya ketua Dewan Pimpinan Pusat,” ujarnya.

Basri Sangaji
Menjelang 1980-an kelompok-kelompok preman etnis juga membentuk organisasi massa. Dimulai dari Prems-kependekan dari Preman Sadar-pimpinan Edo Mempor. Tetap saja, bisnis mereka penagihan, perpakiran, dan jaga tanah sengketa. “Ini awal mulanya preman berbalut ormas,” kata seorang mantan serdadu yang kini jadi preman.
Kelompok itu berdiri hingga kini. Ada Angkatan Muda Kei, Kembang Latar, Petir, Forum Betawi Rempug, Forum Komunikasi Anak Betawi (Forkabi), Badan Pembina Potensi Keluarga Besar Banten, juga Angkatan Muda Kei.
Setelah bentrok berdarah di Ampera, nama Thalib Makarim muncul ke permukaan. Para pesaingnya menyebut dia menyediakan pengamanan klub hiburan malam, seperti Blowfish, DragonFly, X2, dan Vertigo. Thalib resminya seorang pengacara. Dia pernah mendampingi artis kakak-adik Zaskia Adya Mecca dan Tasya Nur Medina, yang diculik oleh Novan Andre Paul Neloe. Ia juga menjadi anggota tim pengacara pengusaha Tomy Winata, ketika menggugat majalah Tempo pada 2005.
Thalib tercatat bekerja untuk kantor pengacara Victor B. Laiskodat & Associates di Melawai, Jakarta Selatan. Tapi, ketika Tempo mendatangi kantor ini, ia tak lagi bekerja di sana. “Lima tahun lalu sudah keluar,” kata Mie Gebu, staf kantor ini. Beberapa orang yang berjanji bisa menghubungkan dia dengan Tempo juga gagal menemukannya. Ia juga tak pernah memenuhi panggilan polisi, yang menangani kasus Ampera.
Sumber Tempo di kalangan preman menyebutkan, Thalib merupakan pengganti Basri Sangaji. Ia menguasai tempat-tempat hiburan elite di Jakarta Selatan. “Termasuk lingkungan pasar Blok M-Melawai,” katanya.
Adapun kelompok John Kei, menurut salah satu pentolannya, Agrafinus, berfokus pada jasa penagihan dan pengacara. Kelompok ini tidak masuk ke bisnis pengamanan tempat hiburan, perparkiran, ataupun pembebasan tanah. “Level kami bukan kelas recehan seperti itu,” katanya. Sebab itulah, Daud Kei membantah tuduhan pertikaian di Blowfish

John Kei
Namun, menurut seorang preman senior, pertikaian antarkelompok separah itu umumnya karena berebut suplai atau meminta jatah. Sebab, perputaran uang di tempat-tempat dugem (dunia gemerlap) itu luar biasa besar. “Bayangin aja, dari suplai tisu, snack, minuman, sampai narkoba ada,” tuturnya.
Berbeda dengan John Kei, Umar Kei meluaskan bisnisnya ke pembebasan tanah, termasuk penjagaannya. Di lahan ini juga bermain Forum Betawi Rempug dan Badan Pembina Potensi Keluarga Besar Banten. Adapun perparkiran umumnya dipegang ormas lokal Betawi atau Banten, contohnya Haji Lulung.
Dari semua bisnis yang dilakoni kelompok etnis itu, sumber Tempo menuturkan, penghasilan terbesar ada di proyek pembebasan tanah. “Nilainya setara dengan uang jajan setahun,” katanya. Mereka biasa menyebut penghasilan ini sebagai “jatah preman”, yang dipelesetkan menjadi “jatah reman”. Di tingkat kedua, penjagaan tempat hiburan malam. Kali ini jatahnya dipakai untuk “uang jajan sebulan”. Sedangkan bisnis perparkiran menghasilkan jatah reman berupa “uang jajan harian”.
Tak mengherankan bila dunia para jagoan ini sering diwarnai pertikaian, bahkan sampai berdarah-darah.