Menjalani mimpi yang menjadi nyata itu ternyata tidak seindah
bayangan ketika memulai untuk merangkai mimpi. Bukan sedang ingin
mengeluh, tapi semoga perjalanan satu episode ini bisa menjadi sebuah
pelajaran tidak hanya untuk saya, tapi juga siapapun yang
menginvestasikan waktunya untuk membaca sebuah corat coret pena.
Bangunan
mimpi ini saya bangun 2 atau setengah tahun yang lalu. Ceritanya saat
itu saya mengalami galau tingkat akut. Bingung antara akan bekerja atau
meneruskan pendidikan. Satu sisi, ibu saya dengan mimpi bahwa anaknya
harus punya profesi dan mampu membiayai hidup sendiri, dan ayah saya
yang di masa-masa pensiunnya, saya paham beliau khawatir pendidikan
lanjutan itu tidak sanggup terselesaikan karena masalah biaya. Pada
akhirnya saat itu saya memutuskan untuk memasukkan surat lamaran di
sebuah sekolah yang menurut saya bukanlah sembarangan dan saya pilih
karena memang atmosfirnya yang “ikhwah” dan ternyata alhamdulillah saya
lolos seleksi dan menjadi staf pengajar di sana dan banyak belajar
tentang Islam dalam bangunan masyarakat ideal.
Namun, apa mau
dikata, selama perjalanan mengajar dan berada dalam zona nyaman itu,
batin saya malah seakan tersiksa, dan kadang saya menjadi zhalim pada
bocah-bocah tanpa dosa, hanya karena ketidaknyamanan saya dengan profesi
mengajar itu. Dengan ketidaknyamanan itu saya pun mulai merangkai mimpi
lama untuk bisa melanjutkan pendidikan, menyusun rencana dan strategi,
berharap ini dan ini terjadi setelah pendidikan itu terjalani, dan
banyak hal lain yang intinya mimpi itu dalam bayangan saya mulus tanpa
halang dan rintang.
Mencari celah dan kesempatan, berdoa dan
memohon sangat-sangat agar bisa diberi jalan hingga akhirnya jalan itu
muncul. Setelah sempat gagal di ujian seleksi pertama, akhirnya lolos di
ujian seleksi kedua, dengan jurusan yang sebelumnya tidak pernah saya
sangka. Tapi itulah putusan Allah
Dan inilah mimpi yang di penuhiNya…
Doa-doa
di kala safar, doa-doa di kala hujan, doa-doa milik ibu, doa di antara
sujud-sujud panjang yang akhirnya terkabulkan. Tapi…. sepertinya saya
sempat tidak sadar bahwa selama di dunia, seperti setiap badai yang
pasti akan berlalu, maka setiap pesta pun akan tetap punya akhir, dan
tentu saja gelaran karpet merah pun tetap saja akan digulung. Menjalani
mimpi itu bukanlah sebuah jalan aspal mulus tanpa batu, bukanlah taman
bunga tanpa ulat, atau istana tanpa gudang, kenyataan dunia pastilah
diberi ujian, untuk melihat seberapa panjang, luas, dan dalam rasa
syukur terhadapNya.
Dan perjalanan ini pada akhirnya tidak semulus
dan seindah bayangan. Senyum kecut mulai mengembang ketika sadar, bahwa
sekarang saya berdiri sendiri tanpa topangan “ikhwah”, perbedaan status
sosial yang membuat saya ternganga, geliat semangat akademik, standar
belajar yang membuat tidur tak nyenyak, dan semua perbedaan yang membuat
saya sempat berpikir, mendapatkan mimpi itu tidak seindah kata-kata Pak
Mario Teguh J. Mulailah satu-satu kebiasaan baik yang saya dulu bangun
menjadi hilang, kerja saya hanya memperbanyak tidur untuk bisa kabur,
banyak mengeluh di jejaring sosial bahkan di inbox-inbox orang. Intinya
saya kehilangan rasa syukur.
Sampai akhirnya di titik ini saya
mulai sadar mungkin inilah ujian Allah. Sepertinya Ia sedang menagih
semua janji-janji. Janji untuk lebih berguna, janji untuk tetap manfaat,
janji untuk tetap bersyukur, dan semua janji-janji manis yang di ucap
dalam doa-doa saya (dulu).
Maka, mimpi itu memang berbeda dengan
nyata. Dan sekarang ini bukan lagi sebuah mimpi, ini kenyataan yang jika
saja saya analogikan, jalan aspal itu tetap saja bisa memiliki lubang
yang bisa membahayakan, taman bunga itu harus rela bertemu ulat-ulat
sebelum bertemu dengan kupu-kupu, dan gulungan karpet merah perayaan,
waktunya ia ditutup dan terlihatlah jalan raya, yang akan ada lampu
merahnya, persaingan antar pengemudi di dalamnya, tikungan, tanjakan,
turunan, dan tidak selamanya datar.
—
“Maka Nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan???” (Q.S. Ar Rahman)
Setelah
satu episode perjuangan panjang yang berbuah keberhasilan, tentu akan
ada lagi ujian, begitu terus hingga sampailah pada ujung jalan pajang
kehidupan manusia. Yang bukan lagi di perjuangkan untuk menjadi baik
atau membiarkannya tersia-sia menjadi tidak baik, tapi pertemuan dengan
penilaian mutlak yang menentukan di manakah tubuh dan jiwa ini akan
abadi.
Maka setelah satu episode perjuangan panjang yang berbuah
keberhasilan, tetaplah bersyukur atas segala nikmat, tetaplah melakukan
yang terbaik, dan penuhilah janji-janji yang pernah terucap bersama
doa-doa penuh harap.
Maka setelah satu episode perjuangan panjang
yang berbuah keberhasilan, tetaplah berdoa padaNya, berlindung memohon
pertolonganNya, bukan lagi keluh, bukan lagi angkuh. Karena hidup ini
hanya untuk mencari ridhaNya, ridha Allah azza wajala.
Waalalu’alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar