Senin, 09 April 2012

Berterima Kasihlah dengan Masalah

Sebagian dari kita mungkin berusaha sekuat tenaga untuk menghindari sebuah masalah dengan berbagai upaya dan antisipasi yang matang dan terencana. Mulai dari mengikuti workshop, pelatihan kepribadian, membaca buku-buku tehnis sampai dengan konsultasi dengan para Psikolog dan juga agamawan. Semuanya dilakukan dalam rangka menyelesaikan atau menghindari masalah, baik sifatnya pribadi, keluarga, masyarakat bahkan mungkin lebih besar cakupannya. Namun demikian ada sisi yang dilupakan bahwa masalah bisa memberikan arti  yang positif bagi perjalanan hidup kita ini. Lalu bagaimana seharusnya kita ini memandang sebuah masalah dan bagaimana pula cara terbaik untuk mensikapinya? Berikut ini adalah tulisan reflektif yang sifatnya lived experiences dari penulis terhadap masalah. Ada adagium yang mengatakan bahwa di dunia ini tidak ada persoalan kemanusiaan yang sifatnya  bisa pasti (predictable), karena yang pasti adalah ketidakpastian itu sendiri. Itulah mengapa persoalan manusia tidak bisa dicarikan hukum keteraturannya, sebagaimana hukum alam yang bisa kita amati keteraturan lalu kita buatkan seperangkat rumus-rumus untuk mendeskripsikan keteraturan alam tersebut (Sentot Eko Parijatno, 2012). Untuk itu, manusia dengan persoalan yang dihadapinya selalu dinamis, kontekstual dan tidak teratur.   Psikiater sendiri atau social worker yang membantu menangani problem manusia tidak bisa langsung memberikan resep pasti, hanya sekedar memberikan masukan-masukan yang keputusannya lalu diserahkan kepada pasien mana yang lebih tepat dan pas.
Diantara beberapa rangkaian problem yang terjadi terhadap diri kita sebagai  manusia, sesungguhnya kita perlu harus bersyukur dan berterima kasih dengan adanya masalah, dengan beberapa alasan diantarangya :
Pertamamasalah datang justeru untuk semakin memperkuat daya tahan  (immunitas) kita terhadap masalah-masalah lain yang akan datang. Jika kita resistensi dan tidak mau membiarkan masalah itu datang, sesungguhnya amatlah mustahil karena masalah dan hidup adalah ibarat dua keping mata uang yang menyatu,  sunatuallah atau alamiah yang pasti akan datang. Makanya rumus yang tepat adalah berani untuk hidup bukan berani untuk mati dengan bunuh diri . Dengan demikian berani menghadapinya,  serta menerima masalah  dengan penuh kesadaran; “ Ok, I have got the problem and I will try face it consciously”. Bukan sebaliknya, menghindarinya (neglected) atau dihadapi akan tetapi tidak dengan kesadaran. Bagi saya, orang yang mampu menghadapi masalah dengan penuh kesadaran, maka ia akan bisa mendapatkan manfaat dari masalah. Sebaliknya orang yang menghadapi masalah dengan tidak  sadar bahwa dirinya sedang dalam masalah, maka cenderung emosi, dan mencoba escape dari masalah yang sifatnya penyembuhan temporer, seperti main ke diskotik, narkoba dan obat-obatan terlarang ,  minum-minuman dan tentu saja marah-marah.
Untuk itu hadapilah masalah dengan penuh kesadaran, dan biarkan dia bergerak akan tetapi perlu di kontrol, sehingga manusia sebagai mahluk yang sedang mendapatkan masalah menjadi person in charge, untuk mengendalikannya. Sebagian dari kita memang terkadang pasrah dan seringkali under-estimate, oleh karena itu belum apa-apa sudah  buat appointment dengan pihak ketiga untuk membantu menyelesaikan masalahnya. Padahal, jika manusia bisa sadar dan kontrol terhadap masalahnya, maka masalah tersebut bisa “dijinakkan” dengan sendirinya.  Singkatnya,  menjadi pribadi yang “sadar” terhadap masalah sangatlah penting. Inilah mengapa suatu saat ketika Nabi Muhammad dimintai wasyiatnya oleh salah satu Sahabat (au syini ya Rasuluallah), Beliau mengatakan ; “ laa taghdzhob”, sampai dengan tiga kali. Ini berarti kita diharapkan mampu menguasai diri di saat-saat kita ada masalah, supaya manusia tidak sampai  jatuh kepada emosi atau marah. Lihatlah betapa masalah bertambah runyam, ketika emosi mulai mengusai  dan mengendalikan manusia. Akalnya menjadi hilang dan nafsunyalah yang cenderung menguasainya. Disinilah mengapa orang yang dalam keadaan marah menurut beberapa ahli fiqh (hukum Islam) ketika mengucapkan talak (cerai) kepada istrinya tidaklah diperhitungkan (tidak jatuh talaknya), sebagaimana orang mabuk dan bermimpi.
Kedua, kita mesti berterima kasih kepada masalah, karena dengan adanya problem yang terjadi pada diri kita, seringkali ia mampu menyadarkan bahwa pada titik tertentu ternyata manusia itu sangatlah lemah (dhoif). Disinilah, manusia  biasanya akan merasa khusyu’ dalam berdoĆ” dan beribadah kepada Tuhannya. Bahkan, tidak jarang menangis meminta pertolongan kepadaNya. Tentu, kondisi psikologis ini sangatlah lumrah dan dimaklumi.  Boleh jadi masalah atau problem yang ditimpakkan kepada kita (manusia) adalah cara Tuhan atau Allah swt mengingatkan kepada Hambanya agar selalu ingat kepadaNya. Meskipun, pada hakekatnya kita mesti selalu ingat, in touch kepada Yang Maha Kuasa dimanapun kita berada (ittaqillaha khaisuma kunta).
Masalah tidaklah identik dengan sesuatu yang harus dihindari, ditakuti akan tetapi bisa menjadi moment bagi kita untuk melatih ‘kepekaan’ manusia. Peka dan sadar bahwa problem itu akan datang silih berganti sehingga kita perlu selalu sadar ( in charge) serta mensikapi masalah tersebut dengan mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta, Illahi rabbi. KepadanNYA kita bersandar, karena Tuhan kitalah “sandaran” sesungguhnya, bukan yang lain (wa illa rabbika farghab). Saya merasakan bahwa kesadaran akan merindukan bantuan sang Khalik ketika terjadi suatu masalah dalam kehidupan dunia ini merupakan anugerah, karena disitulah manusia sadar akan titik kerendahannya. Dalam moment seperti ini pula, biasanya kita sangat religious, mengharap bantuanNYA. Oleh karena itu, beruntunglah memiliki masalah, karena ternyata, somehow, masalah justeru menjadi perangkat bagi kita untuk lebih arif dan bijaksana dalam mensikapi hidup. Sikapi masalah dengan penuh kesadaran dan jadikanlah sebagai lesson learnt,  bahwa manusia adalah bagian dari mikrokosmos yang hakekatnya ingin mencari pijakan yang lebih besar. Kualitas manusia, salah satunya ditentukan disini,  karena masalah yang sama bisa disikapi berbeda oleh setiap manusia. Semoga kita dimampukan untuk menghandle setiap masalah dengan baik atas bimbingan dan Izin dariNYA, Allahumma, Amiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar